Saya bekerja selama 10 tahun 9 bulan dengan jabatan terakhir senior supervisor. Saya mengajukan surat resign 30 hari sebelum dari tanggal resign dan tidak diberi tanggapan atas surat saya. Ketika sudah 30 hari, saya sudah tidak aktif lagi di perusahan tersebut. Ketika saya menuntut surat keterangan kerja, perusahan tidak membuatkan surat tersebut dengan alasan untuk posisi saya surat resign harus diterima 60 hari sebelum tanggal resign saya.
1. Dalam hal ini apa bisa saya menuntut surat keterangan kerja kepada perusahaan?
2. Langkah apa yang ditempuh bila perusahan tetap menolak membuat surat keterangan kerja tersebut? 3. Surat keterangan kerja tersebut untuk proses pencairan dana Jamsostek dan apakah bisa proses pencairan dana jamsostek tanpa surat keterangan kerja? Terima kasih atas bantuannya Bapak/Ibu sekalian. Salam Wahyu.
Jawaban :
Pertama-tama saya ingin klarifikasi, apa yang Saudara maksud dengan “surat keterangan kerja”. Apakah surat pengalaman kerja, ataukah surat pemutusan hubungan kerja. Oleh karenanya, saya mencoba menjelaskan keduanya secara ringkas, sebagai berikut:
1. Lazimnya, yang dimaksud surat keterangan kerja, adalah surat pengalaman kerja (experience letter), atau dalam Pasal 1602z Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) disebut “surat pernyataan” berkenaan dengan berakhirnya hubungan kerja seseorang karyawan (pekerja/buruh).
Surat pernyataan “pengalaman kerja” tersebut, memuat keterangan mengenai sifat pekerjaan yang pernah dilakukan, lamanya hubungan kerja berlangsung, dan bagaimana karyawan melakukan pekerjaannya, serta apa sebab/alasan pengakhiran hubungan kerjanya.
Surat pernyataan ini sangat dibutuhkan, antara lain guna menjadi bahan pertimbangan untuk mencari atau memperoleh pekerjaan di perusahaan lain. Selain itu, bisa juga untuk uji kompetensi guna memperoleh sertifikasi kompetensi kerja sesuai pengalaman dan bidangnya [vide Pasal 18 ayat (3)Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan – “UU 13/2003”].
Berkenaan dengan surat pengalaman kerja dimaksud, saat ini undang-undang tidak lagi mengaturnya seperti layaknya dalam Pasal 1602z KUH Perdata. Namun, merujuk pada ketentuan Pasal 1602zKUH Perdata tersebut, tentu tidak ada salahnya jika para pihak memperjanjikan dan mengaturnya dalam peraturan perusahaan atau dalam perjanjian kerja bersama, maupun dalam perjanjian kerja.
Jika pemberian surat pengalaman kerja dimaksud tidak diperjanjikan, maka tentu Saudara agak sulit untuk memintanya. Namun demikian, semestinya Saudara dapat menjelaskan dan memberikan pemahaman serta keperluannya agar Saudara bisa memperolehnya dengan cara yang baik dan bijak.
2. Apabila yang Saudara maksud “surat keterangan kerja“ adalah surat keterangan mengenai pemutusan hubungan kerja atau “surat pemutusan hubungan kerja” (surat-PHK), maka menurut saya,surat ini seharusnya dan seyogyanya diberikan oleh setiap pengusaha yang melakukan pemutusanhubungan kerja (“PHK”) terhadap karyawannya, baik karena kehendak si pengusaha atau permintaan karyawan sendiri, atau terjadi PHK demi hukum. Kecuali PHK yang atas dasar putusan / penetapan pengadilan.
Sebagaimana ditulis oleh Prof. Iman Soepomo, S.H. dalam bukunya Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja (hal. 162 dan 171), bahwa dalam teori PHK, ada 4 (empat) golongan alasan PHK, yakni:
a. hubungan kerja yang putus demi hukum;
b. hubungan kerja yang diputuskan oleh pihak buruh;
c. hubungan kerja yang diputuskan oleh pihak majikan;
d. hubungan kerja yang diputuskan oleh pengadilan, terutama berdasarkan alasan penting (gewichtige-reden, Pasal 1603v KUH Perdata);
Selanjutnya disebutkan oleh Prof. Iman Soepomo, S.H., bahwa buruh berhak memutuskan hubungan kerja (PHK) secara sepihak tanpa persetujuan majikan. Artinya, salah satu alasan PHK seorang karyawan adalah PHK yang diputuskan sepihak, yakni atas kehendak pihak karyawan sendiri, dan ini memang adalah hak karyawan untuk memutuskan hubungan kerja.Ketentuan mengenai PHK secara sepihak tersebut, dalam Pasal 162 UU 13/2003 dikenal dengan istilah mengundurkan diri atas kemauan sendiri (resignation atau resign).
Dalam Pasal 162 ayat (3) UU 13/2003 disebutkan, bahwa pekerja yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, harus memenuhi syarat:
a. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
b. tidak terikat dalam ikatan dinas;
c. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.
Dengan demikian tidak salah Saudara menyampaikan surat resign 30 (tiga puluh) hari sebelum berhenti bekerja secara total, dan bukan 60 (enam puluh) hari kalender sebagaimana yang diminta oleh pihak manajemen perusahaan.
Yang paling penting dan mungkin terkait dengan permasalahan Saudara adalah ketentuan dalamPasal 3 ayat (2) jo. Pasal 6 ayat (1) huruf c dan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, bahwa salah satu hak pekerja/buruh yang di-PHK atau berakhir hubungan kerjanya, adalah hak atas Jaminan Hari Tua atau “JHT” (yang Saudara istilahkan dengan dana Jamsostek).
Untuk memperoleh “dana Jamsostek” JHT dimaksud, berdasarkan Pasal 32 Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2009 tentang Perubahan Keenam Atas Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja dikatakan, bahwa dalam hal tenaga kerja berhenti bekerja (PHK) sebelum mencapai usia 55 (lima puluh lima) tahun, dan mempunyai masa kepesertaan serendah-rendahnya 5 (lima) tahun, (yang bersangkutan) dapat menerima JHT secara sekaligus. Dengan ketentuan, JHT dimaksud dibayarkan setelah melewati masa tunggu selama 1 (satu) bulan, terhitung sejak saat tenaga kerja yang bersangkutan PHK (berhenti bekerja).
Selanjutnya dalam Pasal 18 ayat (1) huruh b Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: Per-12/Men/VI/2007 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan, dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (“Permen 12/2007”) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: Per.06/Men/III/2009 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Permen 12/2007, disebutkan bahwa salah satu syarat yang perlu dilampirkan untuk mengajukan permintaan pembayaran JHT kepada Badan Penyelenggara (saat ini BPJS Ketenagakerjaan) adalah surat keterangan pemberhentian bekerja dari perusahaan atau penetapan pengadilan hubungan industrial, disamping Kartu Peserta Jamsostek (KPJ) asli dan Kartu Identitas (foto copy Kartu Tanda Penduduk/Surat Ijin Mengemudi dan Kartu Keluarga) yang masih berlaku.
Dengan demikian, surat keterangan pemberhentian bekerja yang Saudara sebut dengan istilah “surat keterangan kerja” sangatlah penting sebagai salah satu syarat untuk memperoleh “dana Jamsostek” JHT seperti yang Saudara maksud. Oleh karena itu upayakanlah dan jelaskanlah mengenai ketentuan Permen 12/2007 tersebut kepada manajemen Perusahaan, agar Saudara bisa memperoleh “dana jamsostek” JHT yang menjadi hak Saudara.
Dalam kaitan itu, Saudara bisa menjelaskan dan memberikan pengertian, atau menegaskan, bahwa apabila Pengusaha tidak memberikan surat keterangan pemberhentian bekerja (surat-PHK), maka tentu Saudara belumlah dianggap telah di PHK. Jika demikian, maka suatu saat Saudara sebagai karyawan bisa saja masih dapat menuntut hak-hak Saudara dalam hubungan kerja di perusahaan tersebut, termasuk hak upah dan hak “pesangon” serta hak-hak lainnya yang timbul dalam hubungan kerja.
Sebagaimana diketahui, bahwa ketentuan mengenai kadaluarsa dalam Pasal 96 UU 13/2003 sudah dinyatakan “dicabut” dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat oleh Mahkamah Konstitusi melalu Putusan MK Registrasi Perkara Nomor 100/PUU-X/2012 tanggal 19 September 2012. Dengan demikian sewaktu-waktu Saudara bisa menuntut hak-hak dimaksud jika Saudara memang belum dinyatakan PHK dengan suatu surat pernyataan PHK apapun (dari Direksi).
Selain itu, kiranya perlu saya jelaskan, bahwa bilamana Saudara masih akan atau telah bekerja di perusahaan lain, dan jika tidak terlalu mendesak mencairkan dana jamsostek JHT, tentu tidak perlu Saudara mengurus surat keterangan PHK dimaksud. Karena kepesertaan dalam program JHT Jamsostek (BPJS Ketenagakerjaan) otomatis berlangsung secara berlanjut dan jumlah iurannya tetap diakumulasi perhitungannya sampai Saudara mencapai batas usia 55 (lima puluh lima) tahun [videPasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah No. 84 Tahun 2013 tentang Perubahan Kesembilan Atas Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja].
Dengan perkataan lain, kalau perusahaan tempat Saudara bekerja tersebut tetap bersikeras tidak memberikan surat PHK, dan Saudara akan bekerja di perusahaan lain, maka hemat saya Saudara tidak perlu mengejar-ngejar untuk “ngotot” meminta “surat-PHK”. Karena yang diperlukan nantinya adalah surat ketarangan PHK yang terkahir guna pencairan “dana jamsostek” dimaksud.
No comments:
Post a Comment